Penilaian
terhadap kasus terorisme tidak bisa dilakukan per kasus, harus diperhatikan
secara keseluruhan. Sebab, satu kasus dengan kasus lainnya selalu berhubungan.
Bahkan, gerakan terorisme di satu daerah
dengan daerah lain di Indonesia juga berada dalam satu jaringan. Seperti
penangkapan yang diduga sebagai teroris di Jl Bangka, Pela Mampang, Jaksel
baru-baru ini, jika ditarik benang lurus pasti mempunyai keterkaitan dengan
yang lain.
Mencermati
kronologis aksi teroris, mulai dari Bom Bali I tahun 2002, terungkap jaringan
Jamaah Islamiyah (JI). Setelah JI terungkap dan bubar, para anggotanya terpisah
menjadi banyak kelompok sel-sel. Mereka pun, membentuk Jemaah Anshorut Tauhid
(JAT) yang merupakan organisasi teroris. Sel ini bisa merekrut antar sel, saling
berhubungan, terikat pada satu ideologi radikal dan memiliki agenda utama
mendirikan suatu kekhalifahan berdasarkan syariat.
Substansi
propaganda radikalisasi, yang ditanamkan teroris adalah menanamkan kebencian,
menyebarkan permusuhan karena perbedaan paham, agama dan merusak cara berpikir
anak-anak yang menginjak usia remaja untuk dijadikan “pengantin” dalam
melakukan aksinya.
Untuk itu
perlu kiranya dikedepankan pendekatan lunak seperti deradikalisasi dalam
penanganan terorisme. Selama ini yang terlihat di publik adalah pendekatan
keras (hard approach), di mana terjadi ledakan bom kemudian penembakan dan
penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Korelasi dari semua
faktor itu mengkristal menjadi rasa ketidakadilan dan dieksploitasi menggunakan
paham-paham radikalisme, apalagi mengatasnamakan agama. Itulah yang kemudian
memicu aksi-aksi terorisme.
Penegakan
hukum, perang melawan terorisme harus dilakukan seiring prinsip preventif
dengan mencegah terjadinya cara berpikir sempit sejak anak-anak. Untuk itu,
perlu ada pendekatan persuasif, program deradikalisasi berbasis pada keluarga.
Kita semua harus serius melakukan program deradikalisasi berbasis keluarga
untuk memutus rantai jaringan teroris.
Deradikalisasi
yang menjadi program kontra-terorisme tidak bisa hanya dilakukan pada orang
dewasa. Perlu ada terobosan program yang berbasis keluarga, di mana orang tua
disadarkan akan tanggung jawab pada anak. Program deradikalisasi hendaknya
benar-benar diarahkan untuk memutus mata rantai regenerasi jaringan teroris.
Salah satu caranya, dengan mencegah anak-anak disusupi ideologi radikal oleh
jaringan teroris.
Ideologi
kekerasan atau terorisme umumnya tumbuh pada masa anak-anak dan remaja. Untuk
itu, diperlukan program untuk menyelamatkan kalangan anak dan remaja dengan
dialog bernuansa kebangsaan. Kita harus memutus mata rantai benih tumbuhnya
ideologi kekerasan yang dipancarkan teroris kepada anak-anak tunas bangsa ini.
Jika ada
anak-anak atau remaja yang diketahui potensial menjadi bibit radikalis atau
teroris, kita mesti menjauhkannya dari jaringan teroris, dan mendidiknya dengan
pemahaman keagamaan yang moderat. Keluarga, terutama orangtua, harus lebih giat
memantau perkembangan perilaku dan pendidikan anak agar tidak mudah diracuni
ideologi radikal teroris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar