Selasa, 27 November 2012

‘Membaca’ Terorisme



Kasus dugaan aksi terorisme di Solo, beberapa waktu lalu tampaknya baru 'prolog' akan terjadinya dan barangkali merebaknya terorisme dunia dan khususnya di Indonesia, yang telah menunjukkan akselerasi aksi-aksinya. Ada bom Bali jilid 1 dan II, pengeboman Hotel Marriot, penembakan sejumlah polisi di kantor Polsek, pengeboman masjid, dan berbagai model gerakan terorisme lainnya. Berkali-kali terorisme berhasil dibongkar oleh aparat yang berwajib, dan berkali-kali pula terorisme terus menantang aparat dan masyarakat melalui gerakan-gerakannya.
Akeselerasi terorisme tersebut menunjukkan bahwa terorime belum berhasil kita kalahkan dan tuntaskan. Terorisme bisa saja unjuk kekuatan untuk memberi pelajaran yang lebih mengerikan pada kita. Boleh jadi, sekarang masih tiarap untuk menyusun rencana. Namun nanti, saat kita lengah atau disibukkan dalam konflik, mereka beraksi.
Keberhasilan membongkar jaringan teroris yang dilakukan oleh aparat kepolisian di satu tempat tidak mengindikasikan kalau kekuatan teroris melemah, apalagi mengecil. Keberhasilan menjaring tidak otomatis sebagai keberhasilan melemahkan terorisme, apalagi mematikan sel-sel terorisme. Sel-sel ini bisa tumbuh subur dan menyatu menjadi kekuatan terorganisir. Sudah beberapa kali, aparat sukses membongkar jaringan terorisme di beberapa tempat atau daerah di Indonesia, namun ini tidak menjadi pembenaran kalau terorisme sedang lemah. Ditemukannya sarang teroris setidaknya justru mengindikasikan bahwa masih ada wilayah lain yang besar kemungkinan digunakan sebagai 'lahan' terorisme.
Mulai dari Pasuruan, Tenggulun Selokuro, Bali, Marriot (Jakarta), Batu, Solo, Aceh hingga Sukoharjo, misalnya, setidaknya dapat dijadikan objek bacaan sosial-geografis, bahwa teroris bisa ada di mana saja dan membangun komunitas sesuai dengan target-targetnya. Sejumlah daerah ini telah dijadikannya sebagai bagian dari penghidupan dan pereformulasian, serta pengonstruksian gerakan radikalistiknya.
Selain itu, masalah kaderisasasi terorisme di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Sunardi (2009) dalam disertasinya yang bertemakan masalah terorisme, kaderisasi teroris di negeri ini hanya bisa dibaca dan ditafsirkan. Pasalnya, mereka merupakan kekuatan terorganisir, militan, dan berideologi kuat, yang serba tersembunyi, dan dari waktu ke waktu berusaha membuktikan pada dunia bahwa jaringan organisasinya tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk aparat keamanan (kepolisian atau TNI).
Teroris masih bisa bersembunyi dan membangun bungker-bungker di tengah masyarakat. Mereka bahkan terus mengepakkan sayap organisasi terorismenya demi mewujudkan ambisi-ambisinya. Mereka bahkan bisa hidup dan berkembang biak di mana saja. Mereka bisa menikah, membangun keluarga, dan mengembangkan komunitas. Meski aparat kepolisian berhasil mengendus dan membongkarnya, mereka masih mempunyai 'saudara' dan 'rumah' lain yang bisa digunakan sebagai kekuatan cadangan yang mendukungnya.
Mereka bisa melakukan seperti itu juga tak terlepas dari kepiawaian 'pemimpin-pemimpinnya' dalam merekrut kader atau orang-orang yang diniainya layak dibibit dan diarahkan menjadi teroris. Elite pemimpin terorisme ini bisa membaca dengan tepat dan cermat tentang seseorang atau sejumlah orang di masyarakat yang mau direkrut, berjiwa militan, atau yang bisa dijadikan mesin organisasi.
Kepiawaian pemimpin-pemimpin organisasi teroris itu sudah pernah diingatkan oleh Miqdad Husen dalam Support to Terrorism (2008) bahwa kemampuan kecerdasan intelektual, pengalaman berorganisasi, dan 'kelicinan' pemimpin terorisme merupakan faktor kunci yang menentukan keberlanjutan dan kehebatan terorisme. Terorisme akan terus berkembang, mampu menghasilkan teknik-teknik teror gaya baru, atau pembunuhan dan pengeboman canggih, serta bercorak masif, tidaklah lepas dari kehebatan pemimpinnya dalam merekrut kader.
Model kader yang diandalkan oleh pemimpin teroris adalah kader yang berasal dari didikan ideologis dan agama, serta orang-orang frustasi akibat dikorbankan oleh negara yang memperlakukannya secara diskriminatif, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban.
Kalau kader yang berelasi secara ideologi dan teologis lebih bertumpu pada masalah klaim kebenaran (truth claim), artinya apa pun keyakinan, agama, dan kepercayaan orang lain dianggaplah bersalah, sesat, dan menjerumuskan, sehingga layak dijadikan sebagai penyakit atau musuh yang harus dihabisi melalui 'proyek jihad' yang wajib dilaksanakannya.
Sementara itu, untuk kader yang berasal dari elemen frustasi merupakan target privilitas dari pemimpin teroris. Pasalnya, kader ini dapat digunakan sebagai mesin pembunuh mengerikan dan eksplosif. Kader ini dimanfaatkan oleh pemimpin teroris sebagai mesin mematikan baik untuk memenuhi target maksimal maupun menjawab kemungkinan kegagalan misi terorisme.
Kegagalan misi pemimpin terorisme tidak sampai terlacak akibat kader 'lapis frustasi' itu digiring untuk menjadi elemen teroris pemberani atau fundamentalis buta, yang mau menyerahkan nyawa demi perjuangan. Sehingga, opsi harakiri atau kamikaze didoktrinkannya sebagai harga mati untuk menjaga kerahasiaan dan keberlanjutan organisasi.
Kalau sudah begitu, yang diajak berperang melawan terorisme bukan hanya aparat keamanan, tetapi elemen negara lain, khususnya elite strategisnya yang berada di puncak piramida kekuasaan. Mereka mempunyai kebijakan fundamental yang bersentuhan (berelasi) dengan kehidupan rakyat kecil atau sekelompok orang yang selama ini dikecewakan akibat kezaliman (kriminalisasi) yang diproduk oleh negara.

Kamis, 08 November 2012

‘Zona Merah’ TERORISME



Di Indonesia, isu terorisme yang belakangan ini terjadi hendaknya kita sikapi dengan arif agar tidak merusak bangunan pluralisme dan kerukunan umat beragama. Hal yang lebih penting, dalam merespons isu terorisme hendaknya bangsa Indonesia tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, dan tidak mengorbankan rakyat sipil.
Pada kampanye antiteroris yang dilakukan beberapa negara-negara ASEAN, secara langsung pihak negara Asia Tenggara menerapkan keamanan internal sebagai bentuk tanggung jawab dalam penangkapan teroris.
Namun seiring dengan terbentuknya keamanan internal itu, para teroris juga berafiliasi dan membendung kekuatan baru yang lebih besar untuk melancarkan misinya. Sampai saat ini, kekuatan teroris semakin menggelembung besar di Indoneisa.
Pada mulanya, terorisme tampak digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik terhadap masyarakat setempat. Terorisme juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, namun justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja.
Namun seiring dengan pergeseran waktu, terorisme semakin bertindak represif dalam melancarkan misinya. Tidak heran jika banyak teroris yang mengorbankan dirinya dengan melakukan bom bunuh diri.
Dalih jihad dan memberantas tindak kemunafikan selalu menjadi legitimasi ideologis mereka. Ideologi ini kemudian disebarluaskan kepada orang-orang yang sejalan dengan misinya. Hal inilah yang bisa menumbuhkembangkan benih-benih terorisme, terutama di Indonesia.

Terorisme semakin jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Dengan demikian, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).
Kita tak bisa mengelak bahwa terorisme sudah mengakar kuat di Indonesia. Satu teroris mati maka akan tumbuh teroris-teroris baru yang lebih represif dan ekstrem. Fakta menunjukkan, matinya Amrozi CS secara langsung telah menyulut semangat terorisme yang lain untuk “membalas dendam” atas kematian Amrozi. Itu karena terorisme sudah menjadi ideologi kuat yang bisa meruntuhkan negara. Terorisme bukan hanya gerakan jihad atau gerakan untuk mengungkap kebenaran, tapi juga gerakan yang mencoba merusak eksistensi negara.
Akhirnya secara jujur harus kita akui, saat ini Indonesia sedang berada dalam zona bahaya atau zona merah. Masivitas para teroris terus mengebiri keberadaan negara, bahkan presiden diancam akan dimusnahkan. Mau tidak mau, pemerintah plus aparat keamanannya (Polri & TNI yang sinergis) harus bertindak tegas untuk melucuti kekuatan teroris sekaligus memusnahkan ideologi terorisme yang telah mengakar kuat di indonesia.

Semangat antiterorisme bangsa Indonesia menjadi senjata kita bersama untuk memusnahkan benih-benih terorisme. Di sinilah pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga keamanan dan stabilitas umum.

MARI PERANGI TERORIS



Berbagai kasus teror bom di tanah air, selain memakan banyak korban jiwa, merusak fasilitas umum, dan tempat ibadah, juga menimbulkan rasa takut berkepanjangan, efek trauma, dan penderitaan mendalam.

Masih tersimpan dalam memori publik aksi Komando Jihad yang membajak pesawat DC 9 Woyla tahun 1981. Tahun 1998 terjadi peledakan bom di Gedung Atrium Senen, Jakarta, kemudian 1999 di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta. 
Tahun 2000 aksi bom di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan, serta kediaman Dubes Filipina di Jakarta. Selama 2000 dan 2001 terjadi peledakan bom di beberapa gereja menjelang malam Natal. Tahun 2002 terjadi aksi bom di Bali dan di gerai McDonald’s Makassar, serta tahun 2003 bom di Hotel JW Marriott. Tahun 2004 aksi bom bunuh diri dengan mobil di Kedubes Australia di Jakarta.  
Pada 1 Oktober 2005 kembali terjadi teror bom bunuh diri di Bali, yang sering disebut kasus bom Bali II.  Setelah empat tahun tenang, pada 17 Juli 2009, terjadi aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Kuningan Jakarta Selatan. Tahun 2011 bom di masjid Mapolres Cirebon, bom di gereja di Kepunton Solo dan terkini September 2012 menjelang Idul Fitri terjadi pelemparan bom dan penembakan pospam polisi di Solo yang menewaskan seorang polisi.


Kalau kita mencermati, aksi terorisme mengalami pergeseran nilai dan peningkatan peran sehingga makin sulit dideteksi, baik oleh intelijen maupun aparat keamanan lain. Dalam beberapa aksi sebelumnya bom dirakit di luar, dan baru diledakkan di dalam sasaran. Modus terkini dan kemungkinan bisa muncul modus yang lain, adalah pelemparan bom dan penembakan dengan sasaran aparat keamanan, seperti terjadi di Surakarta beberapa waktu lalu.
Walaupun sudah banyak pelaku yang ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati, pelaku teror seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Banyak pakar menyebut penyebabnya antara lain pemahaman keliru mengenai tafsir jihad. Selain itu, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan sebagian masyarakat, menjadi faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan terorisme. 
Namun tidak dapat dimungkiri juga bahwa keanekaragaman suku, adat, budaya, dan agama mengundang  kerawanan tersendiri. Penanganan terorisme dilakukan lewat cara preventif dan represif. Pemerintah pun telah menegaskan bahwa  terorisme harus dibasmi tanpa kompromi.
Nah sekarang bagaimana dengan kesiapan aparatur TNI?
Keterlibatan peran TNI membantu menangani masalah terorisme secara legal telah dituangkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, sebagai bagian dari tugas operasi militer, selain perang. Transkripnya adalah mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, berpayung UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan pada 2011, tepatnya disaat upacara Peringatan HUT ke 66 TNI, Presiden SBY juga telah menginstruksikan TNI untuk melakukan pencegahan dan tindakan efektif terhadap terorisme dan tindak kekerasan.
Kalau landasan hukumnya sudah jelas, lantas apa lagi yang ditunggu?. Tentu TNI harus selalu menyiapkan dirinya untuk dapat menjawab tantangan tugas tersebut dengan sukses. Berlatih secara terus menerus (utamanya bagi pasukan khusus anti terornya), meningkatkan pemberdayaan satuan-satuan teritorialnya, dan mempertajam kemampuan satan inteljennya, merupakan sebagian dari beberapa langkah tindak yang tentu harus ditempuh TNI.
Namun satu hal yang patut dicatat adalah kesiapan TNI itu bukan dalam konteks mengambil alih peran dan tugas Polri, serta tidak dimaksudkan sebagai pesaing, melainkan sudah merupakan tekad supaya terorisme tidak tumbuh dan berkembang di tanah air.
Tuntutannya adalah, TNI harus selalu siap untuk bersinergi dengan aparat keamanan lain dan segenap komponen bangsa dalam memerangi terorisme, melalui keterpaduan dan keterlibatan secara total.