Kasus dugaan aksi terorisme di Solo, beberapa
waktu lalu tampaknya baru 'prolog' akan terjadinya dan barangkali merebaknya
terorisme dunia dan khususnya di Indonesia, yang telah menunjukkan akselerasi
aksi-aksinya. Ada bom Bali jilid 1 dan II, pengeboman Hotel Marriot, penembakan
sejumlah polisi di kantor Polsek, pengeboman masjid, dan berbagai model gerakan
terorisme lainnya. Berkali-kali terorisme berhasil dibongkar oleh aparat yang
berwajib, dan berkali-kali pula terorisme terus menantang aparat dan masyarakat
melalui gerakan-gerakannya.
Akeselerasi terorisme tersebut menunjukkan
bahwa terorime belum berhasil kita kalahkan dan tuntaskan. Terorisme bisa saja
unjuk kekuatan untuk memberi pelajaran yang lebih mengerikan pada kita. Boleh
jadi, sekarang masih tiarap untuk menyusun rencana. Namun nanti, saat kita
lengah atau disibukkan dalam konflik, mereka beraksi.
Keberhasilan membongkar jaringan teroris yang
dilakukan oleh aparat kepolisian di satu tempat tidak mengindikasikan kalau
kekuatan teroris melemah, apalagi mengecil. Keberhasilan menjaring tidak
otomatis sebagai keberhasilan melemahkan terorisme, apalagi mematikan sel-sel
terorisme. Sel-sel ini bisa tumbuh subur dan menyatu menjadi kekuatan
terorganisir. Sudah beberapa kali, aparat sukses membongkar jaringan terorisme
di beberapa tempat atau daerah di Indonesia, namun ini tidak menjadi pembenaran
kalau terorisme sedang lemah. Ditemukannya sarang teroris setidaknya justru
mengindikasikan bahwa masih ada wilayah lain yang besar kemungkinan digunakan
sebagai 'lahan' terorisme.
Mulai dari Pasuruan, Tenggulun Selokuro,
Bali, Marriot (Jakarta), Batu, Solo, Aceh hingga Sukoharjo, misalnya,
setidaknya dapat dijadikan objek bacaan sosial-geografis, bahwa teroris bisa
ada di mana saja dan membangun komunitas sesuai dengan target-targetnya.
Sejumlah daerah ini telah dijadikannya sebagai bagian dari penghidupan dan
pereformulasian, serta pengonstruksian gerakan radikalistiknya.
Selain itu, masalah kaderisasasi terorisme di
Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Sunardi (2009) dalam
disertasinya yang bertemakan masalah terorisme, kaderisasi teroris di negeri
ini hanya bisa dibaca dan ditafsirkan. Pasalnya, mereka merupakan kekuatan
terorganisir, militan, dan berideologi kuat, yang serba tersembunyi, dan dari
waktu ke waktu berusaha membuktikan pada dunia bahwa jaringan organisasinya
tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk aparat keamanan (kepolisian atau
TNI).
Teroris masih bisa bersembunyi dan membangun bungker-bungker di tengah
masyarakat. Mereka bahkan terus mengepakkan sayap organisasi terorismenya demi
mewujudkan ambisi-ambisinya. Mereka bahkan bisa hidup dan berkembang biak di
mana saja. Mereka bisa menikah, membangun keluarga, dan mengembangkan komunitas.
Meski aparat kepolisian berhasil mengendus dan membongkarnya, mereka masih
mempunyai 'saudara' dan 'rumah' lain yang bisa digunakan sebagai kekuatan
cadangan yang mendukungnya.
Mereka bisa melakukan seperti itu juga tak
terlepas dari kepiawaian 'pemimpin-pemimpinnya' dalam merekrut kader atau
orang-orang yang diniainya layak dibibit dan diarahkan menjadi teroris. Elite
pemimpin terorisme ini bisa membaca dengan tepat dan cermat tentang seseorang
atau sejumlah orang di masyarakat yang mau direkrut, berjiwa militan, atau yang
bisa dijadikan mesin organisasi.
Kepiawaian pemimpin-pemimpin organisasi
teroris itu sudah pernah diingatkan oleh Miqdad Husen dalam Support to
Terrorism (2008) bahwa kemampuan kecerdasan intelektual, pengalaman
berorganisasi, dan 'kelicinan' pemimpin terorisme merupakan faktor kunci yang
menentukan keberlanjutan dan kehebatan terorisme. Terorisme akan terus
berkembang, mampu menghasilkan teknik-teknik teror gaya baru, atau pembunuhan
dan pengeboman canggih, serta bercorak masif, tidaklah lepas dari kehebatan
pemimpinnya dalam merekrut kader.
Model kader yang diandalkan oleh pemimpin
teroris adalah kader yang berasal dari didikan ideologis dan agama, serta
orang-orang frustasi akibat dikorbankan oleh negara yang memperlakukannya secara
diskriminatif, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban.
Kalau kader yang berelasi secara ideologi dan
teologis lebih bertumpu pada masalah klaim kebenaran (truth claim), artinya apa
pun keyakinan, agama, dan kepercayaan orang lain dianggaplah bersalah, sesat,
dan menjerumuskan, sehingga layak dijadikan sebagai penyakit atau musuh yang
harus dihabisi melalui 'proyek jihad' yang wajib dilaksanakannya.
Sementara itu, untuk kader yang berasal dari
elemen frustasi merupakan target privilitas dari pemimpin teroris. Pasalnya,
kader ini dapat digunakan sebagai mesin pembunuh mengerikan dan eksplosif.
Kader ini dimanfaatkan oleh pemimpin teroris sebagai mesin mematikan baik untuk
memenuhi target maksimal maupun menjawab kemungkinan kegagalan misi terorisme.
Kegagalan misi pemimpin terorisme tidak
sampai terlacak akibat kader 'lapis frustasi' itu digiring untuk menjadi elemen
teroris pemberani atau fundamentalis buta, yang mau menyerahkan nyawa demi
perjuangan. Sehingga, opsi harakiri atau kamikaze didoktrinkannya sebagai harga
mati untuk menjaga kerahasiaan dan keberlanjutan organisasi.
Kalau sudah begitu, yang diajak berperang
melawan terorisme bukan hanya aparat keamanan, tetapi elemen negara lain,
khususnya elite strategisnya yang berada di puncak piramida kekuasaan. Mereka
mempunyai kebijakan fundamental yang bersentuhan (berelasi) dengan kehidupan
rakyat kecil atau sekelompok orang yang selama ini dikecewakan akibat kezaliman
(kriminalisasi) yang diproduk oleh negara.