Aksi
terorisme yang masih saja terjadi di negeri ini, menorehkan rasa sedih dan pilu
yang dirasakan kaum muslimin. Bukan hanya karena melihat terburainya usus para
korban, berserakannya jasad para korban, rasa sakit yang dirasakan para korban
dan tangisan pilu para keluarga korban, namun rasa sedih dan pilu yang
dirasakan kaum muslimin melebihi semua itu, karena banyak pihak mengklaim bahwa
terorisme bagian dari agama Islam yaitu jihad.
Ajaran
agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme apalagi Islam agama mulia,
rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri
yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan. Jihad dalam Islam diatur
dengan aturan syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang
mengatas namakan dirinya jihad fisabilillah dan menggelari pelakunya dengan As
Syahid dengan membunuh orang-orang kafir sedangkan mereka masuk ke negeri Islam
dengan aman dan Rasulullah dengan tegas mengancam siapa saja yang membunuh
mereka:
“Barangsiapa
membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka
ia tidak akan mencium aroma surga, padahal aromanya bisa ditemukan (dari jarak)
sejauh empat puluh tahun (lama) perjalanan.” (Riwayat Bukhari)
Jika
kaum teroris berdalih bahwa mereka tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka
datang tidak perang senjata tapi mereka datang dengan serangan pemikiran. Maka
harusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran bukan dengan
pengeboman, realitanya yang mati bukan hanya orang kafir, orang muslimpun
banyak yang mati, padahal Nabi bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan di
hadapan Allah ketimbang lenyapnya nyawa seorang muslim.” (Ibnu Majah)
Adapun
penegakan jihad (qithal) hanya menjadi wewenang pemimpin negara, dialah yang
memegang komando jihad, mengibarkan panji peperangan, menyusun strategi perang,
dan memilih serta mengerahkan pasukan.