KEMBALI Indonesia
berduka. Momok terorisme yang masih terus menghantui masyarakat diperkeruh lagi
oleh bergentayangannya apa yang dilabeli sebagai geng motor. Mereka sekelompok
begundal dengan keganasan berparas baru yang tidak kalah anarkistis. Apa
jadinya negeri ini bila kekerasan dalam salinan rupa apa pun terus merebak dan
menebar ketakutan?
Lalu, peranti apa
yang paling jitu yang mampu dijadikan penuntas atau penumpas terhadap lajunya
kekerasan; hukumkah, moralkah, atau segala nasihat bijak? Tindakan hukum yang
digadang-gadang sebagai palu godam masih jua belum tegas. Aparat kerap masih
disusupi rasa segan lantaran ada hal ihwal yang "sensitif". Wajar
bila muncul kegamangan di benak masyarakat.
Selama ini, ada satu
rumusan ekonomi yang begitu mengerikan. Manakala perekonomian buruk,
pengangguran akan tumbuh cepat dan kejahatan dalam masyarakat akan merajalela.
Ketika penegakan hukum (law enforcement) payah, masyarakat akan terjerat ke
dalam rasa frustrasi dan anomi sosial yang mudah disentil naluri
kebinatangannya untuk kemudian bertindak kekerasan. Demi sesuap nasi, harga
diri, atau solidaritas kelompok, seseorang akan tega-teganya mencuri, memalak,
merampok, membunuh, mengacau, dan melakukan kekerasan.
Kejahatan dan
kekerasan, tampaknya, merupakan suatu gejala hukum, politik, ekonomi, dan
sosial yang benar-benar kompleks. Ada formula bahwa kejahatan dan kekerasan di
kalangan masyarakat bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan
kejahatan kalangan atas yang mungkin lebih jahat. Sementara itu, mereka yang
berkuasa dan punya uang dengan gampang menabrak hukum. Sumber dari fakta
kekerasan masyarakat sering kali diacukan pada kurang atau belum tegaknya hukum
di negeri kita ini.
Bukankah kekerasan
yang dilakukan geng motor itu sebentuk terorisme? Ya, kita bisa saja menyamakan
ulah geng motor dengan ulah teroris. Keduanya sama-sama mengacau, mengibarkan
dan menindaki kekerasan, membunuh, dan imbasnya meneror masyarakat.
Bila kita merujuk
pada pemerian soal terorisme secara umum, kita akan dapati istilah terorisme
kerap diartikan sebagai bentuk serangan oleh kelompok tertentu yang
terkoordinasi dengan maksud untuk membangkitkan perasaan takut di kalangan
masyarakat. Biasanya, terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk
menciptakan suasana panik, tidak menentu, serta ketidakpercayaan masyarakat
terhadap kemampuan pemerintah dalam mengamankan kenyamanan warga.
Bukankah watak
terorisme sudah cukup tua dalam sejarah umat manusia? Fenomena menakut-nakuti,
mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan
rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat jauh sebelum hal-hal itu
dinamai terorisme.
Terlepas dari
bias-bias pemaknaan, ada yang menjadi kesepakatan bersama bahwa aksi terorisme
identik dengan segala bentuk tindak-tanduk sekelompok orang atau individu yang
menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan di masyarakat luas. Dan yang
pasti, tidak ada satu pun pihak yang membenarkan tindakan teror terhadap
masyarakat luas.
Terorisme dalam
bahasa Arab disebut al-irhab. Secara bahasa, maknanya adalah melakukan sesuatu
yang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, kegelisahan orang-orang yang aman,
keguncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka, menghentikan aktivitas mereka
serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan, dan interaksi sosial.
Nah, rasanya kita
sulit mengelakkan kesamaan perilaku geng motor dengan aksi teroris. Di sini
terlihat ada "benang merah" yang menyatukan keduanya. Mungkin yang
sedikit membedakannya, teroris siap melakukan bom bunuh diri, tetapi geng motor
tidak punya nyali melakukan itu karena mereka lebih suka keroyokan dalam
melakukan aksinya. Tak ayal, aksi geng motor sama bahayanya dengan aksi
teroris. Dan juga sama-sama wajib menjadi kewaspadaan bersama serempak upaya
penanggulangannya.
Islam adalah
manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut (agama kematian).
Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum. Sikap
mental yang terpuji seperti kasih sayang dan kebersamaan antarumat manusia
perlu diiringi dengan penegakan hukum. Sifat manusia yang berpotensi merusak
(ifsad fi al-ardhi wa safku-d-dima') perlu dikendalikan.
Rasulullah Muhammad
menegaskan bahwa ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi muslim
yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpahan darah dan kekerasan
(al-dima'), hak kepemilikan (al-amwal), serta hak untuk terjaga kehormatan,
martabat, dan harkat (al-'irdh).
Jelaslah, penolakan
terhadap kekerasan telah diteladankan oleh Rasulullah. Jangan lupa, kita juga
tidak boleh melupakan bahwa ada hal lain yang mesti dikedepankan, yaitu
keteladanan yang baik (al-matsal al-'ala) dari para tokoh dan pembesar
masyarakat.
Said Aqil Siradj, Ketua umum PB NU
JAWA POS, 18 April 2012