Senin, 17 Desember 2012

Tindak Terorisme ala Geng Motor



KEMBALI Indonesia berduka. Momok terorisme yang masih terus menghantui masyarakat diperkeruh lagi oleh bergentayangannya apa yang dilabeli sebagai geng motor. Mereka sekelompok begundal dengan keganasan berparas baru yang tidak kalah anarkistis. Apa jadinya negeri ini bila kekerasan dalam salinan rupa apa pun terus merebak dan menebar ketakutan?

Lalu, peranti apa yang paling jitu yang mampu dijadikan penuntas atau penumpas terhadap lajunya kekerasan; hukumkah, moralkah, atau segala nasihat bijak? Tindakan hukum yang digadang-gadang sebagai palu godam masih jua belum tegas. Aparat kerap masih disusupi rasa segan lantaran ada hal ihwal yang "sensitif". Wajar bila muncul kegamangan di benak masyarakat.

Selama ini, ada satu rumusan ekonomi yang begitu mengerikan. Manakala perekonomian buruk, pengangguran akan tumbuh cepat dan kejahatan dalam masyarakat akan merajalela. Ketika penegakan hukum (law enforcement) payah, masyarakat akan terjerat ke dalam rasa frustrasi dan anomi sosial yang mudah disentil naluri kebinatangannya untuk kemudian bertindak kekerasan. Demi sesuap nasi, harga diri, atau solidaritas kelompok, seseorang akan tega-teganya mencuri, memalak, merampok, membunuh, mengacau, dan melakukan kekerasan.

Kejahatan dan kekerasan, tampaknya, merupakan suatu gejala hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang benar-benar kompleks. Ada formula bahwa kejahatan dan kekerasan di kalangan masyarakat bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan kejahatan kalangan atas yang mungkin lebih jahat. Sementara itu, mereka yang berkuasa dan punya uang dengan gampang menabrak hukum. Sumber dari fakta kekerasan masyarakat sering kali diacukan pada kurang atau belum tegaknya hukum di negeri kita ini.

Wajah Terorisme

Bukankah kekerasan yang dilakukan geng motor itu sebentuk terorisme? Ya, kita bisa saja menyamakan ulah geng motor dengan ulah teroris. Keduanya sama-sama mengacau, mengibarkan dan menindaki kekerasan, membunuh, dan imbasnya meneror masyarakat.

Bila kita merujuk pada pemerian soal terorisme secara umum, kita akan dapati istilah terorisme kerap diartikan sebagai bentuk serangan oleh kelompok tertentu yang terkoordinasi dengan maksud untuk membangkitkan perasaan takut di kalangan masyarakat. Biasanya, terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengamankan kenyamanan warga.

Bukankah watak terorisme sudah cukup tua dalam sejarah umat manusia? Fenomena menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat jauh sebelum hal-hal itu dinamai terorisme.

Terlepas dari bias-bias pemaknaan, ada yang menjadi kesepakatan bersama bahwa aksi terorisme identik dengan segala bentuk tindak-tanduk sekelompok orang atau individu yang menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan di masyarakat luas. Dan yang pasti, tidak ada satu pun pihak yang membenarkan tindakan teror terhadap masyarakat luas.

Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Secara bahasa, maknanya adalah melakukan sesuatu yang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, kegelisahan orang-orang yang aman, keguncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka, menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan, dan interaksi sosial.

Nah, rasanya kita sulit mengelakkan kesamaan perilaku geng motor dengan aksi teroris. Di sini terlihat ada "benang merah" yang menyatukan keduanya. Mungkin yang sedikit membedakannya, teroris siap melakukan bom bunuh diri, tetapi geng motor tidak punya nyali melakukan itu karena mereka lebih suka keroyokan dalam melakukan aksinya. Tak ayal, aksi geng motor sama bahayanya dengan aksi teroris. Dan juga sama-sama wajib menjadi kewaspadaan bersama serempak upaya penanggulangannya.

Keteladanan Para Pembesar

Islam adalah manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut (agama kematian). Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum. Sikap mental yang terpuji seperti kasih sayang dan kebersamaan antarumat manusia perlu diiringi dengan penegakan hukum. Sifat manusia yang berpotensi merusak (ifsad fi al-ardhi wa safku-d-dima') perlu dikendalikan.

Rasulullah Muhammad menegaskan bahwa ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi muslim yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpahan darah dan kekerasan (al-dima'), hak kepemilikan (al-amwal), serta hak untuk terjaga kehormatan, martabat, dan harkat (al-'irdh).

Jelaslah, penolakan terhadap kekerasan telah diteladankan oleh Rasulullah. Jangan lupa, kita juga tidak boleh melupakan bahwa ada hal lain yang mesti dikedepankan, yaitu keteladanan yang baik (al-matsal al-'ala) dari para tokoh dan pembesar masyarakat.

Said Aqil Siradj, Ketua umum PB NU
JAWA POS, 18 April 2012

Selasa, 27 November 2012

‘Membaca’ Terorisme



Kasus dugaan aksi terorisme di Solo, beberapa waktu lalu tampaknya baru 'prolog' akan terjadinya dan barangkali merebaknya terorisme dunia dan khususnya di Indonesia, yang telah menunjukkan akselerasi aksi-aksinya. Ada bom Bali jilid 1 dan II, pengeboman Hotel Marriot, penembakan sejumlah polisi di kantor Polsek, pengeboman masjid, dan berbagai model gerakan terorisme lainnya. Berkali-kali terorisme berhasil dibongkar oleh aparat yang berwajib, dan berkali-kali pula terorisme terus menantang aparat dan masyarakat melalui gerakan-gerakannya.
Akeselerasi terorisme tersebut menunjukkan bahwa terorime belum berhasil kita kalahkan dan tuntaskan. Terorisme bisa saja unjuk kekuatan untuk memberi pelajaran yang lebih mengerikan pada kita. Boleh jadi, sekarang masih tiarap untuk menyusun rencana. Namun nanti, saat kita lengah atau disibukkan dalam konflik, mereka beraksi.
Keberhasilan membongkar jaringan teroris yang dilakukan oleh aparat kepolisian di satu tempat tidak mengindikasikan kalau kekuatan teroris melemah, apalagi mengecil. Keberhasilan menjaring tidak otomatis sebagai keberhasilan melemahkan terorisme, apalagi mematikan sel-sel terorisme. Sel-sel ini bisa tumbuh subur dan menyatu menjadi kekuatan terorganisir. Sudah beberapa kali, aparat sukses membongkar jaringan terorisme di beberapa tempat atau daerah di Indonesia, namun ini tidak menjadi pembenaran kalau terorisme sedang lemah. Ditemukannya sarang teroris setidaknya justru mengindikasikan bahwa masih ada wilayah lain yang besar kemungkinan digunakan sebagai 'lahan' terorisme.
Mulai dari Pasuruan, Tenggulun Selokuro, Bali, Marriot (Jakarta), Batu, Solo, Aceh hingga Sukoharjo, misalnya, setidaknya dapat dijadikan objek bacaan sosial-geografis, bahwa teroris bisa ada di mana saja dan membangun komunitas sesuai dengan target-targetnya. Sejumlah daerah ini telah dijadikannya sebagai bagian dari penghidupan dan pereformulasian, serta pengonstruksian gerakan radikalistiknya.
Selain itu, masalah kaderisasasi terorisme di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Sunardi (2009) dalam disertasinya yang bertemakan masalah terorisme, kaderisasi teroris di negeri ini hanya bisa dibaca dan ditafsirkan. Pasalnya, mereka merupakan kekuatan terorganisir, militan, dan berideologi kuat, yang serba tersembunyi, dan dari waktu ke waktu berusaha membuktikan pada dunia bahwa jaringan organisasinya tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk aparat keamanan (kepolisian atau TNI).
Teroris masih bisa bersembunyi dan membangun bungker-bungker di tengah masyarakat. Mereka bahkan terus mengepakkan sayap organisasi terorismenya demi mewujudkan ambisi-ambisinya. Mereka bahkan bisa hidup dan berkembang biak di mana saja. Mereka bisa menikah, membangun keluarga, dan mengembangkan komunitas. Meski aparat kepolisian berhasil mengendus dan membongkarnya, mereka masih mempunyai 'saudara' dan 'rumah' lain yang bisa digunakan sebagai kekuatan cadangan yang mendukungnya.
Mereka bisa melakukan seperti itu juga tak terlepas dari kepiawaian 'pemimpin-pemimpinnya' dalam merekrut kader atau orang-orang yang diniainya layak dibibit dan diarahkan menjadi teroris. Elite pemimpin terorisme ini bisa membaca dengan tepat dan cermat tentang seseorang atau sejumlah orang di masyarakat yang mau direkrut, berjiwa militan, atau yang bisa dijadikan mesin organisasi.
Kepiawaian pemimpin-pemimpin organisasi teroris itu sudah pernah diingatkan oleh Miqdad Husen dalam Support to Terrorism (2008) bahwa kemampuan kecerdasan intelektual, pengalaman berorganisasi, dan 'kelicinan' pemimpin terorisme merupakan faktor kunci yang menentukan keberlanjutan dan kehebatan terorisme. Terorisme akan terus berkembang, mampu menghasilkan teknik-teknik teror gaya baru, atau pembunuhan dan pengeboman canggih, serta bercorak masif, tidaklah lepas dari kehebatan pemimpinnya dalam merekrut kader.
Model kader yang diandalkan oleh pemimpin teroris adalah kader yang berasal dari didikan ideologis dan agama, serta orang-orang frustasi akibat dikorbankan oleh negara yang memperlakukannya secara diskriminatif, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban.
Kalau kader yang berelasi secara ideologi dan teologis lebih bertumpu pada masalah klaim kebenaran (truth claim), artinya apa pun keyakinan, agama, dan kepercayaan orang lain dianggaplah bersalah, sesat, dan menjerumuskan, sehingga layak dijadikan sebagai penyakit atau musuh yang harus dihabisi melalui 'proyek jihad' yang wajib dilaksanakannya.
Sementara itu, untuk kader yang berasal dari elemen frustasi merupakan target privilitas dari pemimpin teroris. Pasalnya, kader ini dapat digunakan sebagai mesin pembunuh mengerikan dan eksplosif. Kader ini dimanfaatkan oleh pemimpin teroris sebagai mesin mematikan baik untuk memenuhi target maksimal maupun menjawab kemungkinan kegagalan misi terorisme.
Kegagalan misi pemimpin terorisme tidak sampai terlacak akibat kader 'lapis frustasi' itu digiring untuk menjadi elemen teroris pemberani atau fundamentalis buta, yang mau menyerahkan nyawa demi perjuangan. Sehingga, opsi harakiri atau kamikaze didoktrinkannya sebagai harga mati untuk menjaga kerahasiaan dan keberlanjutan organisasi.
Kalau sudah begitu, yang diajak berperang melawan terorisme bukan hanya aparat keamanan, tetapi elemen negara lain, khususnya elite strategisnya yang berada di puncak piramida kekuasaan. Mereka mempunyai kebijakan fundamental yang bersentuhan (berelasi) dengan kehidupan rakyat kecil atau sekelompok orang yang selama ini dikecewakan akibat kezaliman (kriminalisasi) yang diproduk oleh negara.

Kamis, 08 November 2012

‘Zona Merah’ TERORISME



Di Indonesia, isu terorisme yang belakangan ini terjadi hendaknya kita sikapi dengan arif agar tidak merusak bangunan pluralisme dan kerukunan umat beragama. Hal yang lebih penting, dalam merespons isu terorisme hendaknya bangsa Indonesia tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, dan tidak mengorbankan rakyat sipil.
Pada kampanye antiteroris yang dilakukan beberapa negara-negara ASEAN, secara langsung pihak negara Asia Tenggara menerapkan keamanan internal sebagai bentuk tanggung jawab dalam penangkapan teroris.
Namun seiring dengan terbentuknya keamanan internal itu, para teroris juga berafiliasi dan membendung kekuatan baru yang lebih besar untuk melancarkan misinya. Sampai saat ini, kekuatan teroris semakin menggelembung besar di Indoneisa.
Pada mulanya, terorisme tampak digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik terhadap masyarakat setempat. Terorisme juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, namun justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja.
Namun seiring dengan pergeseran waktu, terorisme semakin bertindak represif dalam melancarkan misinya. Tidak heran jika banyak teroris yang mengorbankan dirinya dengan melakukan bom bunuh diri.
Dalih jihad dan memberantas tindak kemunafikan selalu menjadi legitimasi ideologis mereka. Ideologi ini kemudian disebarluaskan kepada orang-orang yang sejalan dengan misinya. Hal inilah yang bisa menumbuhkembangkan benih-benih terorisme, terutama di Indonesia.

Terorisme semakin jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Dengan demikian, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).
Kita tak bisa mengelak bahwa terorisme sudah mengakar kuat di Indonesia. Satu teroris mati maka akan tumbuh teroris-teroris baru yang lebih represif dan ekstrem. Fakta menunjukkan, matinya Amrozi CS secara langsung telah menyulut semangat terorisme yang lain untuk “membalas dendam” atas kematian Amrozi. Itu karena terorisme sudah menjadi ideologi kuat yang bisa meruntuhkan negara. Terorisme bukan hanya gerakan jihad atau gerakan untuk mengungkap kebenaran, tapi juga gerakan yang mencoba merusak eksistensi negara.
Akhirnya secara jujur harus kita akui, saat ini Indonesia sedang berada dalam zona bahaya atau zona merah. Masivitas para teroris terus mengebiri keberadaan negara, bahkan presiden diancam akan dimusnahkan. Mau tidak mau, pemerintah plus aparat keamanannya (Polri & TNI yang sinergis) harus bertindak tegas untuk melucuti kekuatan teroris sekaligus memusnahkan ideologi terorisme yang telah mengakar kuat di indonesia.

Semangat antiterorisme bangsa Indonesia menjadi senjata kita bersama untuk memusnahkan benih-benih terorisme. Di sinilah pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga keamanan dan stabilitas umum.