Berbagai kasus teror bom di tanah air, selain
memakan banyak korban jiwa, merusak fasilitas umum, dan tempat ibadah, juga
menimbulkan rasa takut berkepanjangan, efek trauma, dan penderitaan mendalam.
Masih
tersimpan dalam memori publik aksi Komando Jihad yang membajak pesawat DC 9
Woyla tahun 1981. Tahun 1998 terjadi peledakan bom di Gedung Atrium Senen,
Jakarta, kemudian 1999 di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta.
Tahun
2000 aksi bom di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan, serta kediaman Dubes
Filipina di Jakarta. Selama 2000 dan 2001 terjadi peledakan bom di beberapa
gereja menjelang malam Natal. Tahun 2002 terjadi aksi bom di Bali dan di gerai
McDonald’s Makassar, serta tahun 2003 bom di Hotel JW Marriott. Tahun 2004 aksi
bom bunuh diri dengan mobil di Kedubes Australia di Jakarta.
Pada
1 Oktober 2005 kembali terjadi teror bom bunuh diri di Bali, yang sering
disebut kasus bom Bali II. Setelah empat tahun tenang, pada 17 Juli 2009,
terjadi aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Kuningan
Jakarta Selatan. Tahun 2011 bom di masjid Mapolres Cirebon, bom di gereja di
Kepunton Solo dan terkini September 2012 menjelang Idul Fitri terjadi
pelemparan bom dan penembakan pospam polisi di Solo yang menewaskan seorang
polisi.
Kalau kita mencermati, aksi terorisme mengalami
pergeseran nilai dan peningkatan peran sehingga makin sulit dideteksi, baik
oleh intelijen maupun aparat keamanan lain. Dalam beberapa aksi sebelumnya bom
dirakit di luar, dan baru diledakkan di dalam sasaran. Modus terkini dan kemungkinan
bisa muncul modus yang lain, adalah pelemparan bom dan penembakan dengan
sasaran aparat keamanan, seperti terjadi di Surakarta beberapa waktu lalu.
Walaupun sudah banyak pelaku yang ditangkap, bahkan
beberapa dihukum mati, pelaku teror seakan-akan tidak ada habis-habisnya.
Banyak pakar menyebut penyebabnya antara lain pemahaman keliru mengenai tafsir
jihad. Selain itu, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya
tingkat pendidikan sebagian masyarakat, menjadi faktor yang cukup berpengaruh
terhadap perkembangan terorisme.
Namun tidak dapat dimungkiri juga bahwa keanekaragaman
suku, adat, budaya, dan agama mengundang kerawanan tersendiri. Penanganan
terorisme dilakukan lewat cara preventif dan represif. Pemerintah pun telah menegaskan
bahwa terorisme harus dibasmi tanpa kompromi.
Nah sekarang bagaimana dengan kesiapan aparatur
TNI?
Keterlibatan peran TNI membantu menangani masalah
terorisme secara legal telah dituangkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI, sebagai bagian dari tugas operasi militer, selain perang. Transkripnya
adalah mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan
dan ketertiban masyarakat. Selain itu, berpayung UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan pada 2011, tepatnya disaat upacara
Peringatan HUT ke 66 TNI, Presiden SBY juga telah menginstruksikan TNI untuk
melakukan pencegahan dan tindakan efektif terhadap terorisme dan tindak
kekerasan.
Kalau landasan hukumnya sudah jelas,
lantas apa lagi yang ditunggu?. Tentu TNI harus selalu menyiapkan dirinya untuk
dapat menjawab tantangan tugas tersebut dengan sukses. Berlatih secara terus
menerus (utamanya bagi pasukan khusus anti terornya), meningkatkan pemberdayaan
satuan-satuan teritorialnya, dan mempertajam kemampuan satan inteljennya, merupakan
sebagian dari beberapa langkah tindak yang tentu harus ditempuh TNI.
Namun satu hal yang patut dicatat adalah kesiapan
TNI itu bukan dalam konteks mengambil alih peran dan tugas Polri, serta tidak
dimaksudkan sebagai pesaing, melainkan sudah merupakan tekad supaya terorisme
tidak tumbuh dan berkembang di tanah air.
Tuntutannya adalah, TNI harus selalu siap untuk bersinergi
dengan aparat keamanan lain dan segenap komponen bangsa dalam memerangi
terorisme, melalui keterpaduan dan keterlibatan secara total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar