Kamis, 08 November 2012

MARI PERANGI TERORIS



Berbagai kasus teror bom di tanah air, selain memakan banyak korban jiwa, merusak fasilitas umum, dan tempat ibadah, juga menimbulkan rasa takut berkepanjangan, efek trauma, dan penderitaan mendalam.

Masih tersimpan dalam memori publik aksi Komando Jihad yang membajak pesawat DC 9 Woyla tahun 1981. Tahun 1998 terjadi peledakan bom di Gedung Atrium Senen, Jakarta, kemudian 1999 di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta. 
Tahun 2000 aksi bom di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan, serta kediaman Dubes Filipina di Jakarta. Selama 2000 dan 2001 terjadi peledakan bom di beberapa gereja menjelang malam Natal. Tahun 2002 terjadi aksi bom di Bali dan di gerai McDonald’s Makassar, serta tahun 2003 bom di Hotel JW Marriott. Tahun 2004 aksi bom bunuh diri dengan mobil di Kedubes Australia di Jakarta.  
Pada 1 Oktober 2005 kembali terjadi teror bom bunuh diri di Bali, yang sering disebut kasus bom Bali II.  Setelah empat tahun tenang, pada 17 Juli 2009, terjadi aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Kuningan Jakarta Selatan. Tahun 2011 bom di masjid Mapolres Cirebon, bom di gereja di Kepunton Solo dan terkini September 2012 menjelang Idul Fitri terjadi pelemparan bom dan penembakan pospam polisi di Solo yang menewaskan seorang polisi.


Kalau kita mencermati, aksi terorisme mengalami pergeseran nilai dan peningkatan peran sehingga makin sulit dideteksi, baik oleh intelijen maupun aparat keamanan lain. Dalam beberapa aksi sebelumnya bom dirakit di luar, dan baru diledakkan di dalam sasaran. Modus terkini dan kemungkinan bisa muncul modus yang lain, adalah pelemparan bom dan penembakan dengan sasaran aparat keamanan, seperti terjadi di Surakarta beberapa waktu lalu.
Walaupun sudah banyak pelaku yang ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati, pelaku teror seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Banyak pakar menyebut penyebabnya antara lain pemahaman keliru mengenai tafsir jihad. Selain itu, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan sebagian masyarakat, menjadi faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan terorisme. 
Namun tidak dapat dimungkiri juga bahwa keanekaragaman suku, adat, budaya, dan agama mengundang  kerawanan tersendiri. Penanganan terorisme dilakukan lewat cara preventif dan represif. Pemerintah pun telah menegaskan bahwa  terorisme harus dibasmi tanpa kompromi.
Nah sekarang bagaimana dengan kesiapan aparatur TNI?
Keterlibatan peran TNI membantu menangani masalah terorisme secara legal telah dituangkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, sebagai bagian dari tugas operasi militer, selain perang. Transkripnya adalah mengatasi aksi terorisme dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, berpayung UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan pada 2011, tepatnya disaat upacara Peringatan HUT ke 66 TNI, Presiden SBY juga telah menginstruksikan TNI untuk melakukan pencegahan dan tindakan efektif terhadap terorisme dan tindak kekerasan.
Kalau landasan hukumnya sudah jelas, lantas apa lagi yang ditunggu?. Tentu TNI harus selalu menyiapkan dirinya untuk dapat menjawab tantangan tugas tersebut dengan sukses. Berlatih secara terus menerus (utamanya bagi pasukan khusus anti terornya), meningkatkan pemberdayaan satuan-satuan teritorialnya, dan mempertajam kemampuan satan inteljennya, merupakan sebagian dari beberapa langkah tindak yang tentu harus ditempuh TNI.
Namun satu hal yang patut dicatat adalah kesiapan TNI itu bukan dalam konteks mengambil alih peran dan tugas Polri, serta tidak dimaksudkan sebagai pesaing, melainkan sudah merupakan tekad supaya terorisme tidak tumbuh dan berkembang di tanah air.
Tuntutannya adalah, TNI harus selalu siap untuk bersinergi dengan aparat keamanan lain dan segenap komponen bangsa dalam memerangi terorisme, melalui keterpaduan dan keterlibatan secara total.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar